“Ketakutan
kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama
bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi para penindas yang
menindas kami.”
(Ibu Shirin Ebadi, wanita Iran, Penerima Nobel Perdamaian)
(Ibu Shirin Ebadi, wanita Iran, Penerima Nobel Perdamaian)
Oleh : Socratez Sofyan Yoman*
Untuk membangun kesadaran suatu bangsa yang cukup lama dijajah dan
ditindas dengan pendekatan kekerasan yang amat kejam itu, tentu
membutuhkan proses waktu yang cukup panjang dan membutuhkan doa dan
ketekunan dalam perjuangan dengan bekerja keras. Untuk menuju ke arah
membangun kesadaran, membebaskan yang membisu, takut dan tak bersuara
diperlukan keberanian, kejujuran, kesabaran dan ketulusan hati” ( Dumma
Socratez Sofyan Yoman: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri: (2010)
hal. Sampul belakang).
Ir. Sukarno bersama rakyat Indonesia melawan Belanda karena Belanda
menduduki, menjajah dan merampok kekayaan sumber daya alam Indonesia dan
dibawa ke Negeri Belanda dan kekayaan, sejarah, budaya, harga diri,
martabat dan seluruh modal hidup yang dimiliki Indonesia dihancurkan
dengan ideologi kolonial dan kapitalisme Belanda. Rakyat Indonesia
dibuat seperti tidak mempunyai apa-apa di atas tanah air mereka.
Penjajah Belanda merumuskan dan mengkonstruksi mitos pribumi malas,
jahat, pencuri, perampok, intelektual yang rendah dan berbagai macam
mitos-mitos yang berlawanan dengan realitas hidup pribumi Indonesia yang
sesungguhnya penduduk pribumi yang memiliki segala-galanya. Watak
penjajah Belanda di Indonesia dan Spanyol di Filipina tidak ada
perbedaan doktrin, ideologi, metode pendekatan penjajahan. Misi penjajah
yang utama adalah kapitalisme. Kalau kita jujur, dua bangsa ini,
yaitu: Filipina dan Indonesia, sebelum Penjajah datang, Indonesia dan
Filipina, mereka sesungguhnya adalah orang-orang merdeka dan berdaulat
atas hidup mereka, tanah mereka, hutan mereka, sungai mereka, laut
mereka, gunung mereka, ideologi mereka, sejarah mereka, budaya
mereka. Mereka memiliki segala-galanya. Mereka ada kehidupan.
Sebagai contoh: Saya mengutip kembali pengakuan dan sekaligus pujian
seorang penulis kolonial kepada pribumi Indonesia (Jawa) Frank
Stettenham adalah Resien Inggris dan dia menulis dengan penilaian yang
manusiawi, beradab dan bermoral.” Orang Melayu berkulit sawo matang,
agak pendek, gempal dan kuat, berdaya tahan tinggi. Wajahnya, biasanya
jujur dan menyenangkan; ia tersenyum kepada orang lain yang menyapanya
sebagai orang yang sederajat. Rambutnya hitam, lebat dan lurus.
Hidungnya cenderung agak datar dan lebar pada cupingnya, mulutnya besar;
biji matanya hitam pekat dan cerah, bagian putihnya sedikit kebiruan;
tulang pipinya biasanya agak menonjol, dagunya persegi, dan giginya
semasa sangat putih. Ia diciptakan dengan baik dan bersih, berdiri kuat
di atas kakinya, tangkas menggunakan senjata, terampil membuat jala,
menggenjot pedal, dan menguasai perahu; biasanya ia perenang dan
penyelam yang ahli. Keberaniannya yang baik merata hampir pada semua
laki-laki, dan tidak ada sikap budak di antara mereka, hal yang tidak
biasa di Timur. Dipihak lain ia cenderung bersikap angkuh, khususnya
terhadap orang asing.” (hal. 60). Hemat saya, Frank adalah salah satu
orang Eropa yang menilai dan menulis tentang orang Melayu, Indonesia
dengan pendekatan nurani kemanusiaan.” (Opini: Penduduk Asli Papua Bukan
Makar, Separatis dan OPM, Bintang Papua, Sabtu, 19 Mei 2012). Yang saya
garis bawahi dan diberikan garis tebal adalah modal hidup yang dimiliki
oleh orang-orang Jawa (Indonesia) sebelum Penjajah datang.
Sementara untuk keunggulan Penduduk Pribumi Filipina sebelum Penjajah
Spanyol datang ke Filipina dapat digambarkan dengan sangat luar biasa
dan dahsyat oleh Jose Rizal dalam bukunya: “The Indolence of the
Filipinos” (1964) yang dikutip oleh Alatas dalam bukunya: “”Mitos
Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme
Kolonial” (1988), hal.139-140". “Sebelum kedatangan orang-orang Eropa,
masyarakat Filipina melakukan perdagangan aktif dengan Cina. Catatan
Cina abad ke-13 melaporkan kejujuran para pedagang dari Luzon.
Pigafetta, yang berdagang dengan Magellan pada tahun 1521, setibanya di
Samar, sangat terkesan dengan sopan-santun dan kebaikan budi para
penduduknya. Ia menyebutkan kapal dan perkakas dari emas murni
didapatkan di Butuan, tempat penduduk bekerja di penambangan. Mereka
memakai baju sutera, belati dengan pangkal emasnya yang panjang dan
sarung pedang dari kayu ukiran, gigi emasnya, serta sejumlah benda
lainnya. Beras, padi-padian lain, jeruk, sitrun, dan jagung India di
tanam….Sepanjang sejarah di tahun-tahun pertama itu, pendek kata,
melingkup kisah panjang tentang industry dan pertanian
penduduk-tambang,pendulang emas, mesin tenun, bercocok-tanam,
tukar-menukar, pembuatan kapal, pemeliharaan unggas dan ternak,
penenunan sutera dan kapas, perusahaan penyulingan, pembuatan senjata,
pembudiayaan mutiara, industry wewangian, tanduk dan kulit, dan
sebagainya. Semuanya ini dapat ditemui pada setiap langkah dan mengingat
waktu serta keadaan kepulauan tersebut, mereka membuktikan bahwa di
sana ada kehidupan, ada kegiatan, dan ada gerarakan.”
Jadi, mitos Penduduk Pribumi Jawa dan Filipina malas hanya karena mereka
melawan kerja paksa dan penjajahan dan pemerasan yang sebelumnya belum
pernah ada di atas Tanah dan negeri mereka. Penduduk Pribumi Jawa
melawan dan mengusir kolonial Belanda dari Indonesia dan Penduduk
Pribumi Filipina melawan dan menentang Spanyol dari Tanah Filipina
adalah karena pemaksaan undang-undang yang diskriminatif dengan bangunan
dan struktur ideologi penjajahan kejam yang berorientasi kapitalis.
Untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya penjajah selalu
memperbudak, memiskinkan, melumpuhkan watak, dan menghancurkan
sendi-sendi dan nilai-nilai kehidupan penduduk Pribumi.
Melalui gambaran singkat dua kebenaran sejarah kehidupan Penduduk
Pribumi Jawa dan Filipina tadi, saya mau mengutip pertanyaan-pertnyaan
yang diajukan oleh Saudara Mayor Inf Tri Ubaya, SH, Kasi Listra
PangdamXVII/Cenderawasih (Bintang Papua, Senin, 21 Mei 2012, hal.7-8)
dengan topik: “Benar Bahwa Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa” yang
merespons opini saya yang berjudul: “Orang Asli Papua Bukan Makar,
Separatis dan OPM” (Bintang Papua, 19 Mei 2012). Sebelum saya menulis
kembali pertanyaan-pertanyaan itu, saya sependapat dengan Saudara Tri.
Saya sangat tidak setuju dengan para pejuang Papua Merdeka yang
menyebarkan berita-berita bohong kepada rakyat dan bangsa Papua Barat.
Contoh: seperti Ketua Umum Dewan Adat Papua, Forkorus Yabuisembut,
menerima nobel perdamaian dari Amnesty Internasional dan juga masalah
Papua Barat sudah terdaftar dalam Komisi Dekoloninasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Saya menduga, informasi seperti ini bisa juga
dikreasi, dikembangkan dan disebarkan luaskan oleh intelijen Penjajah
Indonesia di Tanah Papua dengan tujuan untuk merusak dan menghancurkan
reputasi para pejuang Papua Merdeka di mata rakyatnya sendiri. Karena,
demi keamanan Nasional, biasanya intelijen penjajah menggunakan berbagai
cara dan strategi untuk merusak perjuangan rakyat yang dijajah.
Ijinkan saya mengutip pendapat Saudara Tri: “Seperti dunia mengetahui
bersama bahwa, saat ini juga di Amerika Serikat, Canada dan Australia,
di dalamnya ada penduduk asli yang mengetahui wilayah tersebut jauh
lebih lama, ribuan atau ratusan tahun.Mereka ini menjadi minoritas dan
banyak diantaranya yang telah tercabut dari akar budaya dan hak-hak
dasarnya sebagai penduduk pribumi. Sejauh ini belum ada yang berani
menggugat eksistensi sosial dan politik mereka, berhadapan dengan
penduduk mayoritas. Apakah mereka tidak perlu ditanya lagi, karena
secara faktual mereka adalah penduduk asli. Bagaimana pula dengan
kriteria penduduk asli itu? Apakah mereka yang tinggal paling dulu?
Dimulai sejak kapan? Dan bagaimana dengan realitas atau keadaan Negara
bangsa sekarang ini? Apakah perlu diputar ulang kontrak social yang
telah diproklamasikan elit politik yang mengklaim sebagai pendiri
bangsa? Bagaimana pula dengan hak-hak setiap bangsa untuk menentukan
nasib sendiri atau merdeka secara damai?”.
Ini adalah pertanyaan para kolonial yang melegitimasi kejahatan dan
kekerasannya. Selama ini, Pemerintah Indonesia sudah salah menilai,
mengerti dan memahami kami. Kami bukan orang-orang bodoh seperti yang
Pemerintah dan bangsa Indonesia berpikir. Rakyat dan bangsa Papua Barat
adalah orang-orang yang diduduki dan dijajah secara sistematis dan
struktural oleh Indonesia dengan mitos-mitos yang seperti telah
diciptakan oleh Belanda kepada Indonesia dan Spanyol kepada Filipina.
Semua Undang-Undang, Keputusan Presiden (KEPRES), Instruksi Presiden
(INPRES), Peraturan Pemerintah (PP), adalah hanya dengan tujuan untuk
meng-kekalkan dan memperpanjang pendudukan dan penjajahan Indonesia di
Tanah Papua. Mitos Indonesia lain yang diterapkan di Tanah jajahan di
Papua adalah masalah Papua sudah final dalam NKRI. PEPERA 1969 sudah
final. Jadi, yang jelas dan pasti: Belanda adalah Penjajah Indonesia.
Spanyol adalah Penjajah Filipina dan Indonesia adalah penjajah Papua.
Ini fakta sejarah. Ini bukan ilusi. Ini realitas di depan mata kita. Ini
kita alami dan merasakan langsung.
Perilaku Pemerintah Indonesia sama seperti Belanda di Indonesia dan
Spanyol di Filipina. Indonesia secara stuktural dan sistematis dengan
operasi militer gaya baru, operasi migrasi gelap (mendatangkan penduduk
luar tanpa terkendali dan benar-benar liar), operasi pemekaran kabupaten
dan provinsi yang miskin administrasi persyaratan suatu wilayah dan
tidak seimbang dengan penduduk asli hanya berjumlah 1,5 juta jiwa
(pemekaran kabupaten dan provinsi adalah operasi pengembangan jaringan
komunikasi dan pengkondisian wilayah dan operasi transmigrasi gaya
baru), operasi penghancuran ekonomi penduduk pribumi, pendidikan yang
kacau balau, pelayanan kesehatan yang ambur adul dan meningkatnya
kematian penduduk asli Papua, nilai-nilai budaya, penghancuran sumber
daya alam,perampasan tanah penduduk pribumi atas nama pembangunan,
perkebunan kelapa sawit, perampasan tanah penduduk asli oleh aparat TNI
dan POLRI, kegagalan Otonomi Khusus, UP4B yang palsu. (UP4B adalah usaha
pelarian atau persembunyian Pemerintah Indonesia atas kegagalan Otonomi
Khusus di Tanah Papua dari tekanan internasional. Tapi sayang,
Indonesia tidak bisa bersembunyi dan menipu rakyat Papua lagi).
Peradilan terhadap orang asli Papua yang sangat diskriminatif.
Ingat, jangan lupa. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus adalah keputusan politik tentang status Papua dalam wilayah
Indonesia. Pemerintah Indonesia jangan bangga dan menghibur diri dengan
pernyataan-pernyataan politik dari Negara-Negara asing yang menyatakan,
kami mendukung Papua dalam NKRI. Itu bahasa diplomatik dan komunikasi
politik yang biasa. Rakyat dan bangsa Papua juga dihargai dan diterima
sebagai salah satu bangsa yang akan menentukan nasib sendiri tapi dengan
cara damai.
Pemerintah Indonesia jangan lupa, sebagai anggota PBB sudah
meratifikasi (menyetujui) Deklarasi Hak-Hak Orang-orang Pribumi
(Indigenous Peoples) Pasal 3: “ Penduduk Pribumi berhak untuk
menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka sepenuhnya
bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengembangkan
kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”(Deklarasi PBB, sesi 61,
agenda item 68, Pertemuen Pleno ke-107, tanggal 13 September 2007).
Lihat juga dari Sumber: Buku Informasi Direktorat Jenderal Multilateral
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia). Deklarasi ini senafas dan
relevan dengan Mukahdimah UUD 1945: “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa oleh karena itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Mayon Soetrisno dalam bukunya: Arus Pusaran Soekarno, Roman Zaman
Pergerakan (1985: hal. 122): Zaman akan berubah. Peta politik yang
sekarang, adalah peta politik yang sedang berubah…Cepat atau lambat,
masa keemasan tanah-tanah jajahan akan berakhir. Bagaimanapun bodoh dan
primitifnya suatu bangsa, ia akan tumbuh, berkembang, menyerap
kecerdasan, pengetahuan, ketrampilan dan memiliki naluri untuk
mempertahankan hidup”. Dalam konteks Papua, betapapun tertindas,
terjajah, terpinggirkan dan terpenjara Penduduk Asli Melanesia,kesadaran
mereka sudah bangkit dan menuju pada kebebasan dari penjajahan
Indonesia, seperti Indonesia bebas dan merdeka dari Belanda, Filipina
bebas dari Spanyol.
*Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua